Opini, PancanNews.com – Di tengah gelombang modernisasi yang kian menggerus batas-batas budaya, Kahia’a tampil sebagai pengingat bahwa tidak semua tradisi harus dikorbankan demi mengejar label “maju”. Justru dalam Kahia’a, kita menemukan esensi pendidikan karakter yang sering hilang di tengah kurikulum formal: pengendalian diri, penghormatan pada tubuh dan martabat diri, serta kesadaran atas peran sosial sebagai perempuan dewasa.
Sebagian pihak mungkin terburu-buru memandang Kahia’a sebagai bentuk keterbelakangan, seolah pingitan hanyalah pengekangan ruang gerak. Padahal, jika dilihat lebih dalam, Kahia’a adalah bentuk perlindungan dan persiapan lahir batin bagi perempuan muda.
Ia tidak sekadar menutup pintu dunia luar, tapi membuka ruang batin untuk mengolah rasa, menata sikap, dan mendekatkan diri pada nilai-nilai luhur. Dalam empat hari empat malam itu, para gadis Buton Tengah tidak diminta tunduk pada kekuasaan patriarki, melainkan pada kebijaksanaan leluhur yang mengajarkan bahwa kedewasaan lahir dari kesabaran, bukan paksaan.
Di era sekarang, ketika kita sibuk mengajari anak-anak menjadi “cepat” dalam segalanya cepat lulus, cepat bekerja, cepat sukses. Kahia’a menawarkan jeda. Jeda untuk merenung, jeda untuk mendengar suara hati, jeda untuk benar-benar memahami apa makna menjadi perempuan dewasa di mata keluarga, adat, dan masyarakat. Bukankah jeda semacam ini justru mahal harganya di zaman serba instan?
Maka Kahia’a bukan soal mempertahankan simbol atau ritual kosong, melainkan mempertahankan filosofi hidup. Pemerintah daerah, lembaga adat, dan masyarakat Buton Tengah punya tanggung jawab untuk menjaganya tetap kontekstual: Kahia’a tidak berhenti sebagai upacara seremonial, tetapi berkembang sebagai ruang edukasi karakter yang sejalan dengan nilai zaman, tanpa tercerabut dari akar budaya.
Perempuan-perempuan muda Buton Tengah yang keluar dari kaombo bukan hanya keluar sebagai individu baru, tapi sebagai simbol harapan: perempuan yang siap menghadapi zaman dengan akar kuat, hati teguh, dan langkah bijak. Itulah mengapa Kahia’a bukan hanya milik masa lalu. Ia adalah bagian dari masa depan. (Adm)