Opini, Pancananews.com – Sebelas tahun adalah usia yang terbilang sangat muda bagi suatu daerah. Jika diibaratkan sebagai seorang anak manusia, ia sebaya dengan anak-anak tingkat sekolah dasar kelas empat atau lima. Fase dimana imajinasi akan masa depan diungkapkan dalam diksi cita-cita.
“Anak-anak, apa cita-cita kalian?” tanya seorang guru kepada siswanya. Pertanyaan itu dijawab beragam oleh setiap siswa. Ada yang menjawab ingin menjadi guru sekolah. Ada yang bersuara lantang ingin jadi Polisi atau Tentara. Ada juga yang dengan lembutnya menjawab ingin jadi Dokter lengkap dengan spesialisasinya. Bahkan ada juga bercita-cita jadi Presiden Indonesia.
Barangkali seperti itulah melihat Buteng di usianya sebelas tahun saat ini. Pemimpin dan rakyatnya punya beragam cita-cita, harapan dan asa pada daerahnya yang begitu tinggi. Setiap cita-cita, harapan dan asa itu diformulasikan dalam visi setiap Bupati.
Sudah tujuh Bupati yang memimpin Buteng, dari yang Bupati definitif hingga penjabat Bupati. Tanpa melupakan peran lima Penjabat Bupati yang juga mesti diapresiasi dalam kepemimpinannya di Buteng, setidaknya sudah ada dua Bupati definitif dengan visinya masing-masing.
Bupati definitif pertama, Samahuddin (2017-2022) dengan visinya Buteng Berkah. Lima tahun membangun Buteng dengan memfokuskan pembangunan infrastruktur dasar sehingga setelah periode kepemimpinanya berakhir, masyarakat Buteng melabelkanya sebagai Bapak Pembangunan Buteng.
Lalu selanjutnya, saat ini di bawah kepemimpinan Bupati definitif kedua, Azhari (2025-2030) yang belum lama memimpin dalam 100 hari. Ia mengungkapkan cita-cita, harapan dan asa dalam suatu visi yaitu “Buteng sebagai Kota Pendidikan dan Kota Santri”.
Bagi sebagian orang mungkin cita-cita mewujudkan Buteng menjadi Kota Pendidikan dan Kota Santri di Indonesia terbilang sulit. Apalagi Buteng yang usianya masih seumur jagung dengan kompleksitas masalah layaknya daerah otonom baru yang penuh hal-hal pelik. Belum lagi pimpinan daerah dibatasi waktu periodik.
Tapi tak ada yang tak mungkin, meskipun untuk mewujudkan asa itu tak semudah membalikkan telapak tangan. Sebagai suatu cita-cita, harapan dan asa yang positif, kita mesti dukung dan apresiasi serta jika diperlukan kita ikut turun tangan.
Bukan kah di masa kanak-kanak seusia Buteng saat ini, menjadi hal lumrah untuk bercita-cita dan memiliki asa setinggi angkasa seperti yang saya singgung di awal tulisan ini? Cita-cita, harapan dan asa mau dijadikan apa Buteng ke depan itu sangat penting, sehingga mesti disiapkan dan diikhtiarkan sejak dini. Ia akan menjadi peta jalan yang menentukan identitas atau label daerah kita di masa nanti.
Tidak ada yang salah untuk mengukir asa setinggi angkasa. Bukan kah Bung Karno juga pernah bilang, “Gantungkan cita-citamu setinggi langit. Bermimpilah setinggi langit. Jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang”?
Kalau pun kita tak mampu menyamai Yogyayakarta yang sejak dulu dijuluki sebagai Kota Pelajar di Indonesia. Juga kalau pun kita tak mampu menyamai Jombang atau Gresik yang dikenal sebagai Kota Santri di Indonesia. Setidaknya label bahwa Buteng ke depan juga akan dikenal sebagai Kota Pendidikan dan Kota Santri di jazirah Sulawesi Tenggara.
Selamat Hari Lahir Kabupaten Buton Tengah ke-11 tahun (23 Juli 2014 – 23 Juli 2025). Semoga cita-cita, harapan dan asa pemimpin dan rakyat Buteng yang diukir saat ini untuk menjadi Kota Pendidikan dan Kota Santri akan terwujud di masa depan.
Dan yang terakhir, di rangkaian acara HUT Buteng ke-11 ini, ada satu tanda-tanda sederhana bahwa Buteng sedang otw menjadi Kota Santri, yaitu tidak ada lagi acara joget-jogetan dengan musik penuh kebisingan. Tidak ada lagi artis atau biduan yang lenggak-lenggok di atas panggung perayaan seperti pada perayaan tahun-tahun belakangan. Kini acara diisi dengan dakwah keagamaan. Musiknya pun dibarengi dengan lantunan sholawatan.
Penulis : Falihin Barakati, S.Pd, M.Pd