Opini, PancanaNews.com – Hampir enam bulan pasca dilantik, Bupati Buton Tengah menghadapi realitas bahwa birokrasi daerah masih jauh dari kata ideal.
Budaya kerja yang diwariskan kepemimpinan sebelumnya lebih banyak dihiasi oleh praktik pencitraan: siapa yang paling sering hadir di hadapan pimpinan, siapa yang paling pandai berbicara manis, bahkan siapa yang paling lihai menjatuhkan rekan kerja demi terlihat paling loyal.
Loyalitas semacam ini hanyalah semu, karena tidak pernah diukur dari kinerja nyata, melainkan sekadar kemampuan menjaga citra di depan atasan.
Fenomena ini jelas merusak. ASN yang seharusnya menjadi pelayan masyarakat justru sibuk memainkan peran sebagai “aktor” di panggung birokrasi. Kepala dinas lebih sibuk melapor hal-hal kecil, mendampingi pimpinan ke mana saja, bahkan ada yang gemar melakukan adu domba demi meraih simpati.
Akibatnya, pelayanan publik berjalan lamban, pembangunan tersendat, dan kepercayaan masyarakat terkikis.
Padahal, esensi ASN sangat jelas: bekerja untuk rakyat, bukan untuk pencitraan pribadi. ASN digaji negara agar memberi pelayanan terbaik, melaksanakan program sesuai aturan, serta menghadirkan inovasi yang menjawab kebutuhan masyarakat.
Para kepala dinas wajib memahami tugas pokok dan fungsi (tupoksi) mereka, bukan sekadar berkompetisi dalam mencari muka. Ukuran keberhasilan bukanlah seberapa dekat dengan pimpinan, melainkan sejauh mana target pembangunan tercapai dan manfaatnya dirasakan masyarakat.
Baca Juga : Bupati Azhari Harus Pastikan Mutasi Jadi Terobosan, Bukan Kontroversi
Di sinilah peran penting Bupati Buton Tengah. Dengan latar belakang sebagai mantan rektor, ia seharusnya terbiasa menilai kinerja secara objektif. Dunia akademik mengajarkan disiplin, integritas, dan penghargaan pada produktivitas.
Seorang rektor tahu mana staf yang benar-benar bekerja, dan mana yang hanya pandai beretorika. Pengalaman itu menjadi modal besar untuk membedakan pejabat yang sungguh-sungguh melayani dengan mereka yang hanya lihai bersandiwara.
Momentum enam bulan pertama ini adalah saat yang tepat untuk menyaring pejabat. Mereka yang jujur, bekerja dengan tenang, dan menghasilkan capaian nyata harus diberi ruang lebih luas.
Sementara mereka yang sibuk menjilat, mencari simpati, dan menebar intrik harus dipinggirkan. Tanpa langkah tegas, birokrasi hanya akan terus diwarnai oleh pola lama yang merugikan rakyat.
Langkah ini memang tidak mudah. Akan ada perlawanan dari pihak-pihak yang merasa nyaman dengan budaya lama. Namun keberanian mengambil sikap adalah syarat mutlak bagi seorang pemimpin.
Jika pola pencitraan dibiarkan berlanjut, maka Buton Tengah hanya akan menjadi panggung sandiwara birokrasi. Tetapi bila disaring dengan tegas, birokrasi bisa kembali menjadi instrumen pelayanan publik yang profesional.
Masyarakat menunggu bukti, bukan sekadar retorika. Mereka ingin melihat pejabat yang bekerja sesuai tupoksi, yang hadir untuk melayani, bukan untuk adu domba. Mereka mendambakan birokrasi yang berintegritas, di mana jabatan tidak lagi ditentukan oleh kepintaran menjilat, tetapi oleh kemampuan bekerja nyata.
Bupati Buton Tengah punya peluang besar untuk mencatatkan sejarah baru. Dengan pengalaman akademiknya, ia paham betul mana yang benar dan mana yang salah dalam mengelola organisasi.
Tinggal keberanian yang menentukan: apakah akan membiarkan warisan lama tetap bercokol, atau memilih menata ulang birokrasi dengan fondasi integritas.
Sejarah akan mencatat pilihan itu. Dan rakyat menunggu bukti nyata: singkirkan pejabat pencari muka, perkuat integritas birokrasi.
Penulis : Syaud Al Faisal